Powered by Blogger.
STARBIO PLUS
Serbuk bioteknologi modern
untuk mengatasi limbah organik rumah tangga
Aman bagi pipa dan kulit praktis -tanpa harus kuras/sedot Cukup Dituangkan Ke Dalam Closet/Septic-Tank
HEMAT BIAYA,WAKTU,
dan TENAGA
PENTING
sebelum menggunakan Starbio Plus
SEPTIC-TANK YANG BENAR
Lantai Resapan terdiri dari pasir batu karang,injuk dan tanah,tidak boleh di semen/di beton.
kesalahan dalam membuat resapan mengakibatkan Septic-tank sering penuh dengan air.
-MEMPUNYAI PIPA UDARA
pipa udara yang menjulang ke udara terbuka,fungsinya untuk mengeluarkan gas gas yang timbul akibat adanya proses dekomposisi/pembusukan tinja oleh mikroba didalam septic-tank.
apabila pipa ini tidak ada /tersumbat,gas akan keluar melalui closet,menebarkan bau busuk.
PERHATIKAN HAL-HAL DIATAS SEBELUM MENGGUNAKAN STARBIO PLUS,AGAR HASIL EFEKTIF DAN MEMUASKAN

toko kami
Labels
Tips Mendidik Anak : Stop 7 kesalahan agar anak terampil dan mandiri
Dengan belajar dari kesalahan, kita bisa menjadi orang tua yang lebih baik. Nah, Apakah Anda termasuk orang tua yang kerap melakukan salah satu, beberapa, atau semua hal berikut ini? Bila ya, segera lakukan koreksi agar anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi pribadi cerdas, terampil, mandiri, dan ekspresif.
MEMAKSA ANAK MENGHENTIKAN AKTIVITASNYA
Di usia prasekolah, anak mulai menggemari kegiatan mengasyikkan yang terfokus pada dirinya. Contoh, asyik menonton televisi atau asyik mengutak-utik hobinya semisal menggambar. Saking asyiknya, si anak sampai "lupa" waktu: waktu untuk makan, tidur, mandi, dan lainnya. Di sisi lain, anak usia prasekolah memang belum paham mengenai konsep waktu sehingga masih perlu diingatkan. Ia pun sedang dalam tahap belajar menyesuaikan diri dengan aturan dan tuntutan yang ada di lingkungannya.
Sayangnya, banyak orang tua tak paham akan hal ini. Hingga yang kerap terjadi, umumnya orang tua malah akan menyuruh anak untuk menghentikan keasyikannya itu, "Kakak, ayo, menggambarnya udahan. Sekarang waktunya mandi!" Jika si anak menolak, "Sebentar, Ma, dikit lagi, nih!", orang tua pun memaksa, "Tidak! Sekarang sudah waktunya mandi, jadi kamu harus mandi!" Padahal, sikap orang tua yang demikian hanya akan membuat anak jadi tak punya otoritas terhadap diri sendiri karena anak tak punya kemampuan memutuskan sendiri apa yang menjadi prioritasnya. Di masa depan, tentu sulit bila anak tak punya kemampuan memutuskan apa yang penting dan menjadi prioritas hidupnya.
TINDAKAN YANG BENAR:
Selama ini, memang orang tualah yang selalu membuatkan jadwal untuk anak. Misal, jadwal mandi, makan dan tidur. Mengapa tidak memberi mereka kesempatan pada anak untuk mengatur sendiri jadwalnya? Jikapun anak masih melakukan aktivitas lain sehingga melanggar jadwal yang dibuatnya, orang tua dapat memberinya pengertian, "Kak, sekarang, kan, sudah jam 5. Ayo, jadwal Kakak, kan, jam 5 Mandi. Itu angkanya sudah jam 5, berarti kakak harus mandi." Bila mereka masih ingin mengulur waktu, berikan tenggang yang tak terlalu lama, "Oke, Mama kasih waktu 10 menit lagi, ya. Kalau jarum panjang ini sudah sampai di angka 2 (pukul 5 lebih 10), berarti Kakak harus berhenti menggambar, lalu mandi. Kalau ditunda lagi nanti kemalaman."
Beri juga pengertian, pentingnya menepati jadwal yang sudah dibuat sendiri. Tentu orang tua juga tak boleh terlalu saklek. Bila hari libur, jadwal anak boleh lebih santai. Sebaliknya, bila anak harus les atau diajak pergi, terangkan lebih awal bahwa jadwalnya "terpaksa" berubah. Contoh, "Kak, hari ini mandi sorenya jam 4, ya, karena Kakak akan Ibu ajak pergi."
MENYUAPI MAKAN
Banyak orang tua masih kerap menyuapi anaknya makan. Umumnya supaya si anak mau makan. Apalagi di usia prasekolah, kalau sedang asyik menekuni sesuatu kegiatan, anak bisa sampai lupa waktu. Nah, daripada si anak tertunda waktu makannya, maka orang tua pun menyuapinya sambil si anak tetap asyik dengan aktivitasnya itu.
Padahal, jika anak tak dibiasakan makan sendiri, bisa-bisa sampai di akhir usia prasekolah pun, si anak belum terampil makan sendiri. Padahal, di usia 5 tahun harusnya anak sudah bisa makan sendiri, bahkan memotong makanan dengan pisau.
Selain itu, dengan orang tua terbiasa menyuapi anaknya makan, anak jadi tak mandiri. Bisa-bisa, mereka hanya mau makan bila disuapi oleh ibu atau pengasuh. Nah, bila kebetulan ibu pergi atau si pengasuh repot, tentu mereka tidak akan makan, kan?
Kesalahan ini sering juga bersumber pada anggapan, anak yang gemuk mencerminkan orang tua yang pandai merawat. Bila si anak kurus, orang tua takut dianggap tak perhatian pada anak. Itulah sebabnya, bila anak mulai ogah-ogahan makan, orang tua pun panik. Selanjutnya, acara makan seringkali menjadi ajang berantem antara orang tua dan anak, lantaran orang tua memaksa si anak untuk makan.
Padahal, gemuk-kurusnya si anak tak dapat dijadikan patokan untuk menilai "kepandaian" orang tua dalam merawat anak. Di sisi lain, tak heran bila disuruh makan, ia lantas menolak. Jika dipaksa, lambat-laun akan membuat anak mengasosiasikan acara makan sebagai suatu yang tidak menyenangkan sehingga makannya malah makin susah. Padahal, kalau saja orang tua tahu triknya, anak pasti akan makan. Yang penting kita yakin anak tidak mau makan bukan karena sakit. Cirinya, meski tak mau makan, anak tetap aktif melakukan kegiatannya.
TINDAKAN YANG BENAR:
Bila anak asyik menekuni sesuatu sampai lupa waktu makan, orang tua harus menerangkan perlunya makan. Misal, "Kalau Kakak tidak mau makan, Kakak akan sakit. Kalau Kakak sakit, nanti enggak bisa main dan ke sekolah, loh. Kan, nanti juga enggak bisa main di sekolah."
Jika anak tak mau makan tapi tetap melakukan kegiatan, berarti memang dia sedang memilih untuk menunda makannya. Tak usah memaksa, taruh saja piring makanan di sebelahnya dan minta ia makan bila sudah selesai. Atau, pada saat dia sedang asyik bermain, sediakan saja finger food/cemilan yang mudah mereka comot tanpa harus meninggalkan keasyikannya. Sebaiknya selalu sediakan cemilan sehat yang mengandung gizi cukup, semisal bakwan sayuran. Setelah mereka bilang lapar, baru sediakan nasi beserta lauk pauk lengkap.
Trik lain, saat waktu makan tiba, bila perlu kita tawarkan anak mau makan apa. Biasanya, kalau karena pilihannya sendiri, anak akan makan dengan lahap.
TIDAK MENANGGAPI AJAKAN BERKOMUNIKASI
Sering karena sedang asyik memasak di dapur atau membaca koran, kita "mengusir" anak yang ingin mengajak ngobrol. Padahal, di usia prasekolah, otak anak selalu dipenuhi keingintahuan yang maunya segera dijawab, tak peduli pada kesempatan apa pun.
Bila setiap saat anak mengeskpresikan keingintahuannya tapi tak pernah direspons dengan tepat, maka rasa ingin tahu ini lama-lama terkikis habis. Anak jadi malas bertanya, karena setiap kali bertanya, tak pernah digubris orang tuanya.
Lebih parah lagi, anak jadi apatis. Pada setiap kesempatan, dia tetap saja malas buka mulut karena tumbuh perasaan, dirinya mengganggu buat orang tua. Di lain pihak, orang tua maunya anak selalu ingin tahu dan berani mengekspresikan pikiran-pikirannya.
TINDAKAN YANG BENAR:
Harusnya, orang tua tak mematikan keingintahuan anak. Bila anak bertanya di saat kita sedang repot atau sedang tak ingin diganggu, buatlah kesepakatan dengan anak. Katakan padanya, misal, "Kak, Mama sedang repot di dapur. Bagaimana kalau lima menit lagi?" Karena anak usia prasekolah belum tahu konsep jam, gunakanlah weker. Benda ini wajib ada bila kita mulai membuat kesepakatan dengan anak berdasarkan waktu. Tunjukkan dengan weker, jam berapa (jarum pendek dan jarum panjang di angka berapa) ibu sudah bisa diganggu. Tentu ibu harus konsekuen dengan waktu yang telah disepakati.
Melalui "kesepakatan weker", anak dilatih kesabarannya tanpa kehilangan kesempatan berkomunikasi dengan orang tua. Lama-kelamaan ia pun akan belajar, kapan waktu yang tepat untuk bertanya atau mengobrol dengan orang tua. Misal, ibu tidak akan bisa ditanyai kalau sedang di dapur atau baru saja pulang kantor. Atau, ayah tak mau diganggu bila sedang baca koran. Anak juga akan belajar menghormati privasi dan kesibukan orang lain.
MELARANG TANPA MENJELASKAN
Dalam soal keselamatan, memang tak boleh ada kata kompromi. Namun yang sering terjadi, orang tua melarang tanpa memberitahu alasannya. Apalagi menerangkan fungsinya dengan benar. Contoh, anak memotong kertas dengan gunting yang biasa dipakai orang tua untuk menggunting kain. Melihat hal itu, dengan serta merta orang tua merebut gunting tersebut sambil berkata dengan nada tinggi, "Tidak boleh! Ini bukan gunting mainan!"
TINDAKAN YANG BENAR:
Sebenarnya, belajar yang paling baik adalah belajar dengan benda-benda yang riil. Pisau ataupun gunting menjadi benda berbahaya atau tidak, tergantung bagaimana kita memperkenalkannya. Kalau kita melarang anak memegang gunting tanpa menunjukkan fungsi sebenarnya, tentu menimbulkan tanda tanya pada si anak, "Mengapa, kok, aku enggak boleh main gunting?" Rasa penasaran ini akhirnya membuat anak malah menggunakan gunting tersebut untuk hal-hal berbahaya, ketika dia sedang tidak dalam pengawasan orang tua.
Ingat, di usia prasekolah, rasa ingin tahu anak sangat besar. Anak pun cenderung senang pada sesuatu yang jarang diekspos kepada mereka, seperi benda-benda tajam itu. Akibatnya, mereka jadi semakin tergoda untuk mencoba. Tetapi kalau dari awal diberi tahu, "Kak, gunting ini tajam. Ini bagian gunting yang tajam. Jadi harus hati-hati memegangnya. Kakak boleh memakai gunting ini, tetapi cara memakainya seperti ini."
Dengan orang tua menjelaskan dan memeragakannya, anak akan mengerti. Dia pun akan lebih percaya diri saat menggunakan benda tajam itu karena sudah memunyai kontrol yang bagus.
MENUNGGUI ANAK DI SEKOLAH
Ibu-ibu yang menunggui putra-putrinya di sekolah sering berdalih anaknya belum siap ditinggal. Padahal, ini seperti lingkaran setan. Setiap anak punya attachment dengan perasaan orang tuanya. Bila ibu "tak rela" meninggalkan anaknya di kelas, perasaan ini bisa terbaca oleh anak. Akibatnya, anak pun akan merasa cemas dan akibatnya di kelas menjadi rewel. Sementara si ibu melihat, dia rewel karena tak bisa ditinggal. Jadi, seperti lingkaran yang tak terputus.
Penting diingat, faktor kesiapan anak cukup berpengaruh terhadap keberhasilannya selama menjalani proses belajar di TK. Selain dari segi usia memang sudah waktunya, si kecil pun harus sudah berkurang ketergantungannya pada orang lain, terutama orang tua. Kalau ia tak kunjung siap, bisa setiap hari Anda harus menungguinya dan bahkan menemaninya di kelas. Padahal, tak setiap TK membolehkan anak ditunggui dan ditemani seperti itu. Kalaupun boleh, hanya selama beberapa hari pertama saja. Selanjutnya, anak sudah harus masuk sendiri ke dalam kelas dan bergabung dengan teman-temannya sekelas.
Masalah menunggui anak ini sering muncul pada ibu-ibu yang tidak bekerja. Itu karena sebagai full time mother, waktu mereka sepenuhnya ditumpahkan dengan selalu menghabiskan waktu bersama anak. Sebelum masa sekolah, si ibu bisa membawa anaknya ke mana-mana. Begitu anak sekolah, hubungan ini jadi terputus. Mungkin secara psikologis, si ibu kehilangan identitas diri, sehingga terus berusaha mengupayakan hubungan dengan anak, dengan cara mendampinginya terus, termasuk menunggui di sekolah.
Padahal bila terus ditunggui, rasa percaya diri anak menjadi tidak berkembang. Ia tidak kunjung yakin bisa menjaga dirinya sendiri. Padahal di usia prasekolah, penting bagi anak untuk punya perasaan otoritas, yaitu kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri.
Selain itu, situasi ini bisa membingungkan anak karena di satu pihak, dirinya selalu ditunggui dan diawasi oleh ibu, tapi di lain pihak, ia juga dituntut kemandiriannya. Misal, harus makan sendiri, mandi sendiri dan lain-lainnya.
TINDAKAN YANG BENAR:
Berhentilah menunggui anak di sekolah. Bila tindakan ini tak bisa dilakukan secara langsung, maka lakukan secara bertahap. Misalnya, hanya lima belas menit pertama saja ia ditunggui, setelah itu tinggalkan sampai waktunya dijemput.
Ada juga kasus anak sudah mau ditinggal tapi suatu waktu ia ingin ditunggui orang tuanya di sekolah dengan alasan bermacam-macam. Dalam hal ini, boleh saja orang tua menuruti keinginan anak tetapi tak perlu menungguinya sepanjang waktu. Cukup selama 15 menit pertama (di kelas atau di dekat jendela kelas bila diizinkan) setelah itu menyingkirlah ke area yang tidak terlihat anak.
Bila ibu memang "tak sanggup" berpisah dari anaknya, cobalah lakukan kegiatan bermanfaat di sela-sela waktu menunggu. Di antaranya, ibu bisa mengajukan diri ke pihak sekolah sebagai volunteer (sukarelawan), misalnya menjadi story teller (pencerita di kelas) atau menjadi koordinator kegiatan sosial yang diadakan sekolah.
MEMBERI BANYAK MAINAN TAPI TAK PERNAH MENEMANI BERMAIN
Boleh saja memberikan banyak mainan kepada anak, tetapi apalah artinya itu semua bila orang tua tak pernah menemani anak bermain. Sering orang tua berdalih, "Toh, anak sudah dibelikan mainan yang bersifat edukatif." Contohnya, pasel atau permainan balok susun. Padahal, tanpa pendampingan orang tua, anak tak mampu mengerti fungsi mainan tersebut.
TINDAKAN YANG BENAR:
Sebenarnya, apa pun jenis mainan yang diberikan kepada anak, tak jadi soal. Termasuk robot-robotan dan senjata yang kerap digolongkan bukan mainan edukatif. Justru lebih baik anak memainkan kedua mainan tersebut tetapi didampingi orang tua ketimbang memainkan mainan edukatif tetapi si anak dibiarkan bermain sendirian.
Pasalnya, dengan orang tua mendampingi anak bermain, minimal orang tua dapat mengenalkan sesuatu yang baru pada anak lewat media mainan. Saat anak bermain pistol-pistolan, orang tua bisa menjelaskan kegunaan senjata tersebut bahwa pistol digunakan bukan untuk tujuan sadisme tetapi untuk tujuan lain yang lebih positif, misal.
Dengan kata lain, mainan apa pun bisa menjadi edukatif selama orang tua bisa menggunakan mainan tersebut sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan kepada anak. Terlebih di usia prasekolah dimana penanaman nilai-nilai sosial banyak diperkenalkan, mainan bisa menjadi media yang efektif.
ANAK TAK DIBIASAKAN MEMILIH
Di usia 4 tahun, anak mulai punya dorongan untuk melakukan apa-apa sendiri. Mereka berada pada tahap otoritas atau ingin menunjukkan siapa aku. Kemampuan kognitif yang meningkat dengan cepat juga mendorong mereka untuk selalu ingin melakukan apa-apa sendiri. Tetapi karena masih belajar, tentu butuh bimbingan orang tua. Yang paling baik, anak diberikan pilihan-pilihan, lalu diajarkan bertanggungjawab pada pilihannya. Namun yang kerap terjadi, orang tua justru bertindak sebaliknya.
Segala sesuatu untuk anak dipilihkan dan diputuskan sendiri oleh orang tua tanpa melibatkan anak. Sikap orang tua yang seperti ini sungguh tak baik dampaknya buat perkembangan anak. Salah satunya, anak jadi tak bisa menentukan pilihan. Ia cenderung mengekor pada pilihan dan keputusan orang lain. Kasihan, bukan?
TINDAKAN YANG BENAR:
Penting mengajari anak untuk memutuskan pilihannya sendiri. Contoh, memilih baju yang akan dipakainya setelah mandi, pergi ke mal, atau baju tidur. Bila orang tua khawatir pilihan anak tidak cocok, maka orang tua bisa memberikan beberapa alternatif pilihan, "Kakak mau pakai kaos merah atau blus kembang-kembang kuning ini?"
Tentunya, untuk hal-hal yang sifatnya berbahaya, orang tua tak bisa memberikan pilihan. Tetapi anak harus dijelaskan, mengapa ia tak boleh bermain dengan menggunakan gunting milik orang tua, misal. Kemudian berikan alternatifnya, yaitu gunting yang dirancang khusus untuk anak. Tetapi bermainnya dengan didampingi orang tua.
Dengan begitu, anak terpuaskan. Dia pun tahu, mengapa ada hal-hal yang boleh dan tidak boleh, terutama yang berkaitan dengan keselamatan. Bila perlu, buatlah daftar hal-hal yang masih bisa dikompromikan dan yang tidak. Jabarkan semuanya kepada anak. Dari sini anak bisa melihat, "Meski aku enggak boleh melakukan A, tetapi aku boleh melakukan B." Anak juga belajar, tidak semua yang diinginkannya akan dia peroleh.
Memberikan kesempatan memilih pada anak bukan cuma mengajarkan kemandirian, tetapi juga membuat anak merasa dihargai karena boleh memilih dan dipercaya menjalankan pilihannya. Dengan terbiasa diberi pilihan, anak juga akan belajar bertanggungjawab pada pilihannya. Lambat laun, ia pun mengasah kemampuannya untuk memutuskan sesuatu dengan lebih baik.
sumber : www.lptcindo.com/
Tips Mendidik Anak : Kiat Ajarkan Anak Menghadapi Teman Nakal
Saat melihat si kecil menangis gara-gara perbuatan temannya, tentu Anda selaku orangtua tak tega melihatnya. Alih-alih memberikan solusi, Anda malah mengatakan pada si anak agar membalas tindakan temannya.
Eit, nanti dulu. Membalas tidak akan menyelesaikan masalah, dan malah menimbulkan problema baru. Jadi, lebih baik ajar si kecil memecahkan sendiri masalah dengan cara yang bijak.
Indri Savitri, MPsi, manajer LPT (Lembaga Psikologi Terapan) UI, dalam berteman anak belajar mengenal berbagai karakter teman bermainnya. Bukannya tak mungkin, bila balita Anda akhirnya bertemu dengan teman yang seringkali berperilaku kurang baik, misalnya suka memukul, memaki, menjahili teman yang lain, mendorong, dan lain-lain. Bisa saja yang menjadi korban adalah anak kesayangan Anda.
Lantas, bagaimana Anda menyiapkan si kecil agar siap dan percaya diri menghadapi kelakuan teman bermainnya itu? Yuk, simak tip bijak berikut ini:
1. Ajar anak berani menegur
Pada usia balita yang perlu diperhatikan adalah kemampuan anak mengembangkan verbalisasi terhadap kebutuhan. Misalnya, anak mengadu bahwa temannya suka merebut mainan. Ajarkan padanya agar ia berani mengungkapkan apa yang dia butuhkan.
Anda bisa mengatakan, "Bilang sama teman kamu, ini mainanku. Kamu jangan ambil, kita main sama-sama saja." Dengan begitu, anak diajak mengembangkan kemampuan berpikirnya untuk menentukan respons yang tepat.
Lain waktu, ia didorong oleh temannya dan menangis mengadu pada Anda. Katakan padanya, "Kalau lain kali didorong, jangan menangis. Tapi bilang sama teman kamu 'aku nggak suka didorong, kalau kamu dorong aku lagi aku nggak mau berteman dengan kamu." Dengan begitu, teman yang mendorong akan tahu bahwa perilakunya tidak diterima oleh kelompoknya.
2. Libatkan orang dewasa
Yang paling penting, hindari anak untuk membalas perbuatan temannya secara fisik, misalnya dipukul balas memukul. Atau, membalas dengan cara menyerang secara verbal, seperti dimaki balas memaki. Dikhawatirkan, bila ini terjadi, anak akan belajar menyelesaikan masalah dengan cara kekerasan.
Anak yang menjadi korban perlu membela diri, tapi lakukan dengan cara yang tepat. Anda dapat mengajarkannya kata-kata seperti "Hentikan!", "Jangan!", "Ini milikku!", "Tidak!" dan "Pergilah!" sebagai alternatif memukul. Sehingga, saat temannya merebut mainan yang sedang ia mainkan, ia dapat mengatakan, "Jangan, ini milikku!", bukan malah memukulnya.
Jika perbuatan teman si kecil sudah sangat keterlaluan, Anda bisa mengajarkannya untuk melibatkan orang di sekitar yang memiliki pengaruh dalam mengatasi perilaku negatif si teman, misalnya guru, ibu si anak, dan lain-lain. Ajarkan si kecil untuk mengatakan, "Kalau kamu pukul aku lagi, aku akan bilang sama ibu guru."
Atau, jika pada saat itu ia melihat ibu temannya ada di dekat kejadian, tak ada salahnya memberitahukan perbuatan si anak. "Tante, tadi Dodi dorong aku keras sekali, aku sampai jatuh." Dengan begitu, si ibu mendapatkan informasi tentang perilaku kurang baik anaknya. Si ibu pun bisa melakukan cross check dengan anaknya dan akhirnya memberi nasihat mana yang baik dan yang benar.
3. Kenalkan berbagai karakter
Tak ada orangtua yang ingin anaknya salah berteman. Tapi, menentukan mana teman yang layak dan tidak untuk si anak, bukan tindakan bijaksana. Justru dengan si kecil mengenal berbagai karakter orang, wawasan anak akan menjadi kaya.
Karena itu, beri si kecil bekal tentang karakter manusia, misalnya ada yang baik hati, suka menolong, suka mencuri, pembohong, dan lain-lain. Yang perlu dilakukan orangtua ialah mengajari anak bagaimana bersikap terhadap masing-masing karakter. Ini akan membantunya dalam beradaptasi. Dengan demikian, si kecil punya bekal dalam menghadapi berbagai karakter temannya.
4. Awasi anak bermain
Selalu dampingi saat si kecil bermain bersama teman-temannya, tapi Anda tak harus selalu berada di dekatnya. Yang penting, Anda dapat dengan mudah mengawasinya.
Bila Anda menggunakan jasa pengasuh atau baby sitter, tekankan padanya agar ia mengawasi anak Anda dengan seksama. Jika si kecil mengadu pada Anda perihal teman bermainnya setibanya di rumah, Anda bisa melakukan cek silang dengan pengasuhnya. Hal ini mempermudah Anda menentukan siapa yang benar dan yang salah.
5. Bersikap responsif
Jadilah orangtua yang peka dan tanggap terhadap kebutuhan anak. Selalu luangkan waktu untuk berkomunikasi dua arah dengan si kecil. Jika Anda terbiasa berkomunikasi dengannya tentang apa saja sejak dini, maka anak Anda akan terbiasa untuk mengekspresikan kebutuhannya.
Jadilah orangtua yang responsif. Tanyakan pada anak hal-hal yang ringan. Misalnya, "Mama lihat kamu senang sekali hari ini, ada apa?" atau, "Kamu kok diam saja, apa ada yang mengganggu?". Dengan begitu, anak akan merasa nyaman dan dihargai. Ia akan terbiasa mengungkapkan perasaannya. Kebiasaan ini akan terbawa pada saat anak bergabung dalam kelompok bermain. Ketika suatu saat ia diganggu temannya, ia akan cukup percaya diri untuk mengungkapkan perasaan dan kebutuhannya secara jujur.
6. Beri contoh yang baik
Anak belajar dengan mencontoh. Bila Anda melarangnya untuk tidak memukul sebagai balasan perilaku yang kurang baik dari teman bermainnya, konsistenlah dengan perkataan Anda.
Jika Anda melarangnya memukul, tapi Anda malah memukul tangannya saat melarang sesuatu, maka Anda tak membantu ia melihat apa yang seharusnya ia ketahui dari suatu kebiasaan. Dengan Anda memukulnya, ia belajar bahwa memukul merupakan satu cara agar orang lain mematuhi perintahnya atau memenuhi keinginannya. Berilah contoh yang baik pada anak Anda setiap hari.
sumber : lifestyle.okezone.com/
Tips Mendidik Anak : Anak 'Nakal' ? Kemungkinan Dua Hal Ini Jadi Sumber Masalahnya
Masyarakat umumnya menganggap anak yang sering tak patuh pada orang tua dan berperilaku tak wajar adalah anak yang nakal. Padahal menurut pakar, anak-anak tersebut sering kali hanya korban dari lingkungan yang tak kondusif.
Penyebab 'kenakalan' pada anak ini secara garis besar bisa karena dua hal yaitu masalah sensoris atau memang masalah perilaku karena pola asuh. Sayangnya orang sekitar termasuk orang tua kadang tak mengerti bahwa anak punya kesulitan tersebut.
Ahli okupasi terapis Sally Juanda dari Loma Linda University menjelaskan untuk masalah sensoris ini gangguannya bersumber dari pancaindra. Contoh bisa jadi anak tak menjawab panggilan guru di kelas karena memang telinganya sulit mendengar.
Sementara itu untuk 'kenakalan' karena masalah perilaku sumbernya bisa jadi ada pada pola asuh orang tua. Hal ini karena perilaku anak sangat dipengaruhi oleh perilaku orang-orang sekitarnya juga.
dr Ahmad Suryawan atau yang biasa dipanggil dr Wawan dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr. Soetomo Surabaya mengatakan perkembangan anak terutama otak secara garis besar terjadi dalam tiga tahap yaitu pada umur nol hingga satu tahun, satu hingga tiga tahun, dan tiga hingga enam tahun. Dalam tiga tahap tersebut sikap anak bisa berubah dan orang tua perlu menyikapinya berbeda-beda.
"Banyak orangtua datang ke saya membawa anaknya dengan keluhan bahwa anaknya susah diatur, bandel, dan hiperaktif. Setelah saya periksa ternyata tidak ada masalah apa-apa dengan anaknya, nah kalau gini kan berarti yang bermasalah orangtuanya dong?" ujar dr Wawan beberapa waktu lalu ketika mengisi seminar anak.
Pada tahap perkembangan otak yang ketiga di umur tiga sampai enam tahun, otak bagian depan mengalami perkembangan pesat. Otak pada bagian ini berperan pada daya imajinasi anak. Di umur dengan daya imajinasi tinggi, sang anak akan mengikuti apa yang dibayangkannya. Orangtua yang memiliki anak pada tahap ini disarankan untuk memberikan perhatian dan kontrol penuh pada apa saja yang mempengaruhi imajinasi anak seperti tontonan, bacaan, dan pengaruh dari luar lain yang memiliki efek negatif.
Sumber : Detik health
Tips Mendidik Anak : Agar Kakak sayang Adiknya
Rasa sayang kepada adik tak muncul dengan sendirinya, tetapi perlu ditumbuhkan dan dilatih.
Ketika sang adik lahir, ada satu harapan bahwa si kakak akan menyayangi adiknya dengan sepenuh hati. Si kakak juga harus mengerti bahwa adiknya perlu diperlakukan secara “istimewa”. Tak heran, kita sering memaksa si kakak untuk mengalah, merelakan kita lebih fokus kepada adiknya, dan merelakan waktu kita dengannya berkurang.
Nyatanya, harapan itu sering tak terwujud. Si kakak bukannya menunjukkan sikap kasih sayang dan perhatian, eh malah memusuhi adiknya. Ia tak peduli kala adiknya menangis, butuh ditemani, bahkan si kakak sering menjahili adiknya dan ulah negatif lainnya. Mengapa demikian? Mari kita simak bersama penjelasan Dra. Retno Pudjiati Azhar dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, berikut ini.
BUKAN SALAH SI KAKAK
Tidak munculnya sikap kasih sayang dari si kakak kepada adiknya, bukanlah semata-mata kesalahan si kakak melainkan kitalah yang menjadi sumbernya. Mungkin kita terlalu menuntut tanggung jawab kepada si kakak secara berlebihan padahal usianya masih balita, menuntut anak untuk memahami bahwa kita sedang sibuk dengan adiknya, dan sebagainya.
Tentu saja hal ini tak bisa diterima anak karena pola pikirnya masih sangat terbatas dan masih melihat sesuatu dari sudut pandangnya sendiri. Dia masih ingin bebas tanpa harus terbebani dengan segala sesuatu, termasuk kehadiran adik barunya.
Mungkin juga sikap permusuhannya itu muncul karena cemburu. Dia beranggapan kalau kita lebih memihak adik dibanding dirinya. Apa-apa adik yang didahulukan, dipentingkan, lebih disayang, dan sebagainya. Karena kesal, dia pun tak peduli dengan adiknya sehingga terkesan tidak menyayangi si adik.
BERI PENGARAHAN
Untuk itu, kita perlu melakukan beberapa tindakan supaya si kakak lebih menyayangi adiknya. Kita perlu mempersiapkan mentalnya, melatihnya, juga memberi contoh baik kepada-nya. Bila hal ini bisa kita lakukan dengan baik, anak pun akan memahami kenapa dia harus menyayangi adiknya.
Seyogyanya, bila kita sudah melakukan persiapan, melatih, dan mengajari anak untuk sayang kepada adik, maka si kakak akan memiliki rasa sayang yang cukup baik. Namun demikian, tak mustahil bila kemudian si kakak tetap berperilaku yang kurang baik dan seakan dia tidak menyayangi adiknya, semisal berlaku kasar.
Bila memang kerap muncul perilaku negatif si kakak terhadap adik, bukan berarti pengarahan yang kita lakukan gagal. Tetapi kita harus memahami bahwa di usia ini egonya masih tinggi. Jadi, tak usah heran kalau terkadang si kakak menjambak rambut adiknya, tak mau menemaninya bermain, merebut mainan yang dipegang adik, dan sebagainya. Umumnya, dengan sedikit menanamkan kembali rasa kasih sayang, maka si kakak akan kembali menyayangi adiknya.
AYAH HARUS TERLIBAT
Lain hal bila si kakak terlalu sering menyakiti si adik, mungkin pengarahan yang kita berikan dahulu memang tak dapat diserap dengan baik oleh anak. Mungkin penyebabnya ketidaktepatan saat kita memberikan arahan atau mungkin si anak yang memiliki daya tangkap kurang baik seperti pada anak yang mengalami gangguan autis atau bisa juga karena anak memiliki sifat hiperaktif yang sulit untuk dikendalikan.
Sebaiknya, kita mengevaluasi, apakah memang kita kurang melakukan persiapan dan pelatihan atau mungkin faktornya dari si anak sendiri. Bila kurang pengarahan tentu kita harus melakukan pengarahan ulang dengan cara melibatkan anak dalam mengasuh adik, memberi penjelasan, mendongengi, melakukan pemantauan, dan sebagainya. Namun bila memang karena adanya gangguan pada diri anak, kita perlu kerja lebih keras dalam mengarahkan. Atau mungkin kita memang tak bisa meng-harap-kan si kakak untuk terlibat dalam mengasuh dan menyayangi adik.
Atau bisa saja hal ini terjadi karena kesalahan kita pada saat itu, misalnya tanpa sadar kita terlalu terfokus pada adik bayi sehingga lupa memerhatikan si kakak. Bila sang ayah pun ikut lupa, tak mustahil si kakak akan lebih berperilaku negatif. Sebaiknya, koreksi apakah sikap kita yang menjadi pemicunya. Bila ya, segera perbaiki kesalahan tersebut. Beri perhatian dengan porsi yang sama terhadap si kakak agar dia tidak berperilaku negatif.
Supaya terhindar dari masalah ini, diperlukan bantuan dan peran ayah. Bisa kan ketika si ibu mengurus bayi, maka ayah mengurus si kakak, mengajak bermain, memandikan, menyuapi makan, dan sebagainya. Umumnya, bila pembagian peran ini berjalan dengan baik, meskipun ibu sibuk dengan adik baru, si kakak tidak akan menampakkan kecemburuannya. Bahkan sikap kasih sayangnya kepada adik akan tumbuh dengan baik. Tetapi masalahnya, yang kerap terjadi justru ayah juga ikut “lupa” sama si kakak. Inilah yang membuat si kakak cemburu dan akan muncul rasa benci kepada adiknya.
5 CARA TUMBUHKAN KASIH SAYANG KAKAK
Agar si kakak sayang adik, inilah beberapa tindakan yang perlu dilakukan orangtua:
1. Siapkan mental anak.
Kita harus melakukannya sejak sang adik masih berada di kandungan. Bisa dimulai ketika usia kehamilan 4-5 bulan, saat perut ibu mulai membesar. “Lihat, ada adik kamu di dalam perut Mama!”, misal. Perkataan seperti ini bisa membuat si kakak lebih bersiap diri menerima kehadiran adiknya. Lalu di akhir kehamilan kita bisa mengajak si kakak melakukan persiapan menyambut kedatangan adik baru dengan mengenalkan baju-baju adik, memasukkannya ke dalam tas, mengelus perut ibu sambil mengajaknya ngobrol, dan sebagainya.
Ketika akan melahirkan, baik sekali bila kita melibatkan anak. Umpama, dengan menerangkan kalau kita akan ke rumah sakit untuk melahirkan adik, kemudian minta si kakak untuk berada di rumah sambil merapikan dan mempersiapkan kamar, membereskan pakaian bersama pengasuh, dan seterusnya. Selama kita berada di rumah sakit, pastikan si kakak tak merasa disingkirkan. Ajak ia menjenguk si adik dan perkenalkan kepadanya, “Ini dia adikmu, cantik ya seperti kakaknya!” Dengan demikian, si kakak akan merasa kalau ia sekarang sudah menjadi kakak, dan ia tidak merasa disingkirkan karena ikut dilibatkan dalam menyiapkan kedatangan adik.
2. Libatkan si kakak.
Banyak orangtua yang terlalu sibuk mengurus si adik sehingga sang kakak terlantar. Padahal sebelum adik lahir, si kakak selalu menjadi pusat perhatian. Hal inilah yang bisa memicu kebencian si kakak terhadap adiknya, “Huh, gara-gara adik, Mama dan Papa tidak sayang lagi sama aku!” Bila kebencian ini terus terpupuk, tak mustahil sampai dewasa dia akan terus membenci adiknya.
Meskipun si adik butuh perhatian besar, sebaiknya tak membuat kita lupa memerhatikan si kakak. Sebab, si kakak pun masih butuh perhatian yang besar dari kita. Jadi, jangan kurangi perhatian kepada si kakak, usahakan semuanya berjalan normal. Ketika kita harus memandikannya, menyuapinya makan, memakaikan baju, dan sebagainya, usahakan semuanya berjalan seperti semula.
Selain itu, libatkan pula si kakak dalam pengurusan sang adik. Contoh, mengajaknya mengasuh adik meskipun hanya menemani tidur, ikut menyanyikan lagu “Nina Bobok”, membelai, membantu mengambilkan popok, dan sebagainya. Sangat baik bila sebelumnya kita berbicara kepada si kakak tentang apa yang harus dilakukannya sebagai kakak. “Adik kan masih kecil, dia belum bisa ngapa-ngapain, jadi kita perlu menyayangi adik ya, Kak!”
Melibatkan si kakak dalam pengasuhan adik tak hanya pada saat si adik masih bayi, melainkan juga ketika si adik menginjak usia batita. Mungkin keterlibatan itu lebih ditingkatkan, dengan mengajaknya bermain, ikut melarang adik kalau merangkak terlalu jauh, dan lainnya.
3. Latihlah terus.
Setelah kasih sayang si kakak pada adiknya tumbuh, kita hendaknya tidak berhenti sampai di situ, melainkan terus memupuknya supaya semakin subur sebagaimana layaknya tanaman. Jadi, kita harus terus melatih dan menstimulasinya. Bisa lewat pemberian dongeng sebelum tidur. Pilihlah cerita yang mengajarkan nilai-nilai kasih sayang seorang kakak terhadap adik. Kemudian lakukan interaksi setelah bercerita, “Kasihan ya si adik dijahili terus sama kakaknya, si adik jadi sering menangis deh,” misalnya setelah kita menghabiskan salah satu cerita.
Dalam kegiatan sehari-hari pun kasih sayang harus terus dipupuk. Umpama, ketika adik menangis karena takut pada kucing, kita bisa minta si kakak untuk mengusirnya, “Kakak, kasihan tuh adik ketakutan, tolong usir kucingnya ya!” Atau, bisa juga dengan meminta si kakak untuk tidak bersikap kasar saat bermain, “Lo, kok adiknya dimarahin? Jangan dong. Adik kan harus disayang!”
4. Jalin kedekatan antara si kakak dan adiknya.
Tak kenal maka tak sayang, begitu bunyi pepatah. Meskipun si kakak sebenarnya sudah mengenal adiknya, namun sangat baik bila kita jalinkan kedekatan antara mereka berdua. Tak lain supaya si kakak lebih mengenal adiknya, sehingga rasa sayang muncul lebih kuat. Kedekatan bisa dijalin lewat bermain bersama, mandi bersama, makan bersama, dan seterusnya.
Sebaliknya, bila kita terus-menerus melarang si kakak, malah akan membuatnya bertindak lebih destruktif. Mungkin saja saat itu dia berpikir kalau mamanya lebih memerhatikan si adik sehingga muncul kecemburuan. Bila demikian akan muncul rasa benci dari si kakak sehingga dia akan mencari kesempatan untuk menjahili adiknya sebagai bentuk luapan emosinya.
5. Beri contoh yang benar.
Anak usia ini sering kali belum bisa memahami hal yang abstrak seperti apa itu kasih sayang. Untuk itu kita harus sering-sering memberi contoh yang benar, bagaimana mengungkapkan rasa sayang kepada adik. Misal, mencontohkan bagaimana cara membelai, mencium pipinya, tidak memukul atau mencubitnya, dan sebagainya. Contoh ini perlu sering diberikan mengingat anak balita mudah lupa. Jadi setiap kali kakak berdekatan dengan adiknya, kita ajari dia untuk melakukan tindakan-tindakan kasih sayang. Tentu, hal ini pun tak perlu dilakukan secara berlebihan, sewajarnya saja, supaya anak tidak bosan.
sumber : tabloidnakita.com
Subscribe to:
Posts (Atom)
kelebihan starbioplus
BIO INFO
MIKROBA PENGURAI adalah mahluk bersel satu yang hidup di sekitar kita.sebagian orang menyebutnya bakteri tanah,sebab hidupnya memang di dalam tana,juga di dalam septictank kita.
keberadaannya sangat diperlukan,karena mikroba tersebut bertugas menguraikan sisa-sisa bahan organik(tinja,sampahbangkai,limbah)menjadi zat/partikel yang aman bagi lingkungan.
bayangkan apa jadinya bumi ini jika tidak ada mikroba pengurai?sampah dan bangkai bertumpuk disekitar kita,menebarkan bau busuk dan wabah penyakit merajalela
Hal yang harus di perhatikan ;
-jangan memnasukan benda plastik,karet ,filter roko,kertas dll.kedalam closet sebab benda-benda tersebut sulit/tak dapat di uraikanoleh mikroba pengurai.
-jangan tuangkan karbol,lysol kedalam closet sebab bersifat anti-septic(mematikan bakteri,termasuk mematikan mikroba penghancur yang ada di dalam septictank)sehingga septicteank cepat penuh dan bau.